Dengan nafas yang terengah-engah setelah mengendarai sepeda. Aku
terhenti saat ku melihat dia, aku tak tau siapa dia. Wajahnya cukup
cantik dan manis, aku singgah membeli segelas air untuk melepaskan
dahaga yang melanda tenggorokanku.
Setelah beristirahat aku langsung menggayuh pedal sepeda untuk pulang ke
rumah. Sesampai dirumah, kedua orang tuaku sedang pergi ke sebuah
tempat yang aku tidak tau. Aku segera pergi mandi karena badanku sudah
bermandi keringat. Setelah mandi aku memakai pakaian dan menuju taman
yang tak jauh dari kompleks rumahku. Aku kaget si dia juga sedang berada
ditaman. Tanpa pikir panjang aku langsung menghapirinya.
“Hai…..”, kataku
Dengan senyum aku menyapanya.
Tapi dia tidak merespon dan tetap saja membaca sebuah novel. Sekali lagi aku mengulangi sapaanku.
“Hai.. boleh kenalan gak?”.
“Iya ada apa?”, katanya sambil menatap novel yang dibacanya.
“Aku boleh gak kenalan? Namaku Zhaky”, sambil mengulurkan jemariku.
Dia langsung berdiri lalu meletakkan bukunya di atas kursi dan memberi tah u namanya.
“Namaku Tamara”, katanya dengan senyum.
“Kamu tinggal dimana?”, kataku.
“Aku tinggal di sebelah kiri toko buku dekat gerbang kompleks. Aku baru pindah kemarin.”
“Oooo…. Kamu anak baru yah?”.
“Memang kenapa?”.
“Tidak kenapa-kenapa kok”.
“Ayo aku temani jalan-jalan di taman ini. Lagi pula gak enak juga kalau suasananya begini-begini saja”, pintaku.
“Ok.. baiklah”, katanya dengan lembut.
Langkah demi langkah mengawali perkenalanku dengan si dia yaitu Tamara.
Kami berjalan mengeliling taman, dari pada hanya terdiam lebih baik aku
memulai pembicaran. Aku menanyakan banyak hal kepadanya. Dan kami selalu
menyelingi pembicaraan kami dengan candaan yang cukup untuk mengocok
perut hingga sakit.
Sekarang sang mentari akan kembali ke peraduannya. Kami berjalan pulang
bersama karena arah rumah kami searah. Tamara berada di depan kompleks
sedangkan rumahku ada di lorong kedua sebeleh kanan di kompleks tempat
tinggalku. Sesampai di depan rumah Tamara kami berhenti dan menyempatkan
diri untuk bercanda sebentar.
Suara teriakan Ibunya yang memanggil membuat kami berdua kaget.
“Tamara… Tamara… ayo cepat masuk, udah hampir malam nih!, teriak ibunya.
“Ya bu.. tunggu!, Zhaky aku duluan yah?”, katanya dengan senyum.
“Iya...”, kataku sembari membalas tersenyumnya.
“Kamu juga cepetan pulang, nanti di cariin sama Ibu kamu”.
“Ok… aku pulang yah.. dadah..!, sambil berjalan dan melambaikan tangan.
Di perjalanan, aku hanya bisa berkata “baru kali ini aku bisa cepat
berkenalan dengan seorang gadis, apalagi gadis seperti Tamara”. Kini aku
berjalan di antara jalan yang sepi dengan sedikit penerangan dari lampu
jalan yang mulai redup dan di kerumuni serangga.
Sesampai di rumah aku di marahi oleh Ibuku.
“Kamu ke mana aja”?, bentak Ibu.
“Maaf Bu, aku tadi dari keliling taman”, kataku sambil menunduk.
“Lain kali jangan pulang telat lagi yah?”.
“ Iya Bu”, sembariku meninggalkan ibu di teras rumah.
***
Keesokan paginya aku bertemu dengan Tamara, ternyata aku sama sekolah
dengan dia, kemarin aku lupa nanya sih. Aku langsung berlari
menghapirinya.
“Tamara… Tamara…. tunggu aku!”, kataku sambil berlari.
Tamara berhenti dan memegang pundakku.
“Masih pagi-pagi kok dah keringatan kayak gini?, ini usap keringatmu!”, katanya sembari menyodorkan sapu tangannya.
“Iya nih, kamunya tuh. Kamu jalannya cepat amat” .
“Iya maaf”, kataya sambil tersenyum.
“Ayo buruan entar pintu gerbang di tutup”.
Sesampai di sekolah aku langsung ke kelas dan ternyata Tamara juga
sekelas dengan aku. Dia duduk di sampingku, karena Dino teman aku baru
pindah sekolah dua hari yang lalu. Tamara naik dan memperkenalkan
dirinya ke teman-teman kelasku.
“Hai perkenalkan namaku Tamara Adelia, panggil aja aku Tamara. Aku baru
pindah dari Makassar kemarin, semoga kita semua bisa menjadi teman yang
akrab”.
“Ok….”, Teriak semua temanku.
Kini kami semakin dekat. Kami selalu bersama, kami duduk di depan kelas sembari bercerita tentang tugas sekolah.
“Kamu suka pelajaran apa?”, tanyaku.
“Aku paling suka pelajaran matematika”.
“Kenapa kamu suka pelajaran itu?, padahal pelajaran itu agak rumit dan memusingkan”.
“Karena aku suka aja dengan pelajaran itu, kalau kamu sukanya pelajaran apa?”.
“Aku paling suka dengan pelajaran bahasa Indonesia, yah pelajaran sastra”.
“Kenapa kamu suka pelajaran itu?, tanyaku.
“Seperti kamu tadi, aku suka aja dengan pelajaran itu. Aku sudah buat
beberapa cerpen, mau baca?”, kataku sambil menyodorkan beberapa cerpen
karyaku.
“Ini buatan kamu?, aku gak percaya”.
“Iyalah, ini buatan aku. Kamu baca yah dan berikan saran, ok?”.
“Ok…”, katanya sambil tersenyum.
***
“Tttttttteeettt….”, Bunyi bel menandakan kami akan melanjutkan ke
pelajaran berikutnya. Tapi, guru yang mengajar tidak datang. Jadi aku
dan Tamara bersama teman-teman yang lain hanya bercerita tentang hal-hal
yang dapat mengocok perut.
Tak lama kemudian, kami pun pulang. Aku bersama Tamara dan temanku yang
lain berjalan menuju pintu gerbang, menertawai hal yang tak patut
ditertawai. Di perjalanan pulang Tamara berteriak, “Auuuuhh sakit, Zhaky
bantu aku berdiri!” pintanya sambil meneteskan air matanya. kaki Tamara
tersandung batu, dan kelihatannya kaki Tamara Terkilir.
“Sudah jangan nangis donk, pasti kamu akan sembuh kok”, kataku menyemangati.
“Iya Zhaky, tapi kaki aku sakit banget. Bantu aku berdiri donk!”, pintanya
“Auuuuhh…. Sakit!!”, katanya sambil merintih kesakitan.
“Sini biar aku gendong deh, gak apakan?” .
“Betul mau gendong aku, aku berat loh!”, katanya sambil tersenyum.
“sakit-sakit gini sempat aja ngelawak, sini naik cepat”.
“hehehe…. Aku beratkan?”, tanyanya, sambil tertawa.
“Gak kok..”, kataku sambil tersenyum.
Sesampai di depan rumah Tamara, Ibunya yang sedang membaca koran kaget saat melihat kedatanganku yang menggendong Tamara.
“Tamara, kamu gak apa-apakan nak?”.
“Gak apa-apa kok Bu”, kata Tamara.
“Kakinya terkilir tadi waktu jalan pulang tante”, kataku.
“Terima kasih yah nak ….”
“ Zhaky, tante!”, ucapku dengan maksud memperkenalkan diri.
“Iya terima kasih yah nak Zhaky”, katanya sambil tersenyum.
“Tamara, tante, Zhaky pulang dulu yah?”, kataku.
“Iyaa nak Zhaky, kapan-kapan main ke rumah yah?”, kata ibu Tamara.
“Baik tante”, kataku sambil tersenyum.
Sehabis menggendong Tamara punggungku rasanya ingin copot, benar juga
kata Tamara badannya berat. Tapi, tidak apalah dari pada sahabat aku
Tamara gak pulang ke rumah. Sesampai dirumah aku langsung melepas
pakaian dan makan siang. Sesudah itu aku langsung tidur karena aku lelah
banget udah gendong Tamara.
***
Keesokan paginya aku menunggu Tamara di depan rumahnya. Saat melihat dia
keluar rumah, dia sudah bisa berjalan dengan baik. Aku kaget dan
bengong melihatnya.
“Woii kamu kenapa bengong kayak gitu?”, tanyanya sambil mencubit pipiku.
“Akh gak apa kok!, eh kok cepat amat sembuhnya?”.
“Iyaa nih, semalam aku dibawa ke tukang urut, rasanya sakit amat waktu di urut”.
“Baguslah, daripada berjalan dengan pincang”, kataku sambil tersenyum.
Sampai di sekolah teman-teman ku berkumpul membicarakan sesuatu, aku dan
Tamara bergegas ke sana dan mendengar apa yang di ceritakan
teman-temanku itu.
“Teman-teman, besokkan kita libur bagaimana kalau kita liburan?”, kata Naila.
“Kita mau ke mana ?”, tanyaku memotong pembicaraan.
“Kita akan pergi liburan, baiknya kita ke mana?”, kata Denny.
“Bagaimana kalau kita pergi ke tempat rekreasi terkenal di kota ini!”, kata Tamara.
“Baiklah kita akan ke pantai Bira!”, kataku.
Tak sabar menunggu saat itu, aku menceritakan sedikit tentang pantai
Bira kepada Tamara. Kami tidak memerhatikan penjelasan guru, akibat
cerita kami yang semakin mengasyikkan. Tak lama kemudian bel istirahat
pun berbunyi. Rasanya aku tidak ingin berpisah dengan Tamara walau
sekejap saja. Tapi, mungkin itu cuman perasaanku saja. Kami berkeliling
sekolah mencari hal-hal yang baru dan melupakan apa yang aku banyangkan
tadi.
Tidak lama kemudian, bel kembali berbunyi kami berlari ke kelas. Kami
berlari sambil tertawa dengan senangnya. Rasanya hal ini adalah hal yang
terindah bagiku. Sesampai di kelas kami duduk dan menunggu guru. Tak
lama kemudian, guru yang mengajar pun datang.
Aku merasa agak tidak enak badan. Tamara iseng mencubit pipiku dan Tamara kaget.
“Zhaky kamu gak apa-apa, kan?” tanyanya dengan khawatir.
“Aku gak apa-apa kok”, kataku dengan nada yang pelan.
“Kamu sakit dan aku harus antar kamu pulang!”, katanya sambil berjalan menuju guruku.
“Pak, Zhaky sakit”, katanya.
“Baiklah bawa dia pulang, kamu mau mengantarnya?” tanya pak guru.
“Iya pak aku bisa kok”, katanya.
Berhubung sudah hampir pulang Tamara memasukkan barang-barangku ke dalam tas
lalu dia juga membereskan barang-barangnya.
“Ayo aku antar kamu pulang”, katanya.
Tamara meminta izin mengantar aku pulang. Sambil memegang
jemari-jemariku dan sesekali memegang keningku. Tamara selalu bertanya
tentang keadaanku. Tapi, aku hanya bisa menjawabnya dengan kalimat, “Aku
baik-baik saja kok, gak usah khawatir”.
Sesampai di rumah aku langsung di bawa Tamara ke kamarku sembari ibu mengomel-ngomeliku.
“Ini sebabnya kalau makan gak teratur”, katanya.
“Sudah tante, Zhaky ‘kan lagi sakit”, pinta Tamara ke Ibuku.
“Biarlah nak, biar dia tahu rasa”, kata Ibuku.
“Kalau begitu aku pulang dulu tante”.
“Nak nama kamu siapa?”.
“Nama aku Tamara, tante”.
“Terima kasih yah nak Tamara, udah bawa pulang anak tante ini”.
“Iya, sama-sama tante”, katanya.
Aku melihat senyuman indah dari Tamara saat akan keluar dari kamarku.
***
Keesokan paginya, rasanya badanku udah sehat. Aku bergegas menyiapkan
barang yang akan ku bawa. Aku mandi dan sesudah itu berpakaian rapi dan
langsung menuju rumah Tamara. Tapi, Tamara sudah berangkat duluan. Aku
langsung ke sekolah. Sampai di sekolah aku melihat Tamara dan langsung
menghampirinya.
“Zhaky, kamu udah sembuh?”, katanya.
“Iya.. aku udah sembuh kok”.
“Betul aku udah sembuh”, kataku sambil meraih tangannya dan meletakkannya di keningku.
Tak berapa lama kemudian, bus yang akan mengantar kami ke pantai Bira
pun datang. Aku duduk di belakang bersama anak lelaki lainnya. Tamara
berada di depan bersama teman wanitanya. Di perjalanan rasa gelisahku
semakin tak menentu. Aku memiliki pirasat buruk dan naas tak berselang
beberapa lama mobil yang aku tumpangi kecelakaan.
Aku merasa kepalaku sakit, saat ku pegang kepalaku mengeluarkan darah
yang banyak. Tapi, yang ada di pikiranku sekarang adalah Tamara. Aku
langsung berteriak dengan nada yang lemah. “Tamara.. kamu gak apa-apa,
kan?”. Aku tak mendengar suaranya. Aku melihat teman-temanku terluka dan
mengeluarkan banyak darah. Saat aku ke tempat duduk Tamara, aku melihat
kepala Tamara mengeluarkan banyak darah. Rasa sakit yang aku rasa
membuat aku pingsan.
“Zhaky, Zhaky, bangun nak, ibu di sini”, kata ibuku sambil menangis.
Mendengar suara itu, aku terbangun. Aku sekarang berada di rumah sakit, aku kaget dan berteriak.
“Dimana Tamara Bu? Tamara baik-baik sajakan Bu?”.
Ibu hanya terdiam sambil menatap ayah.
“Ibu apa yang terjadi?”, aku mulai meneteskan air mata.
“Maaf nak, kini Tamara sudah berada di tempat lain”, dengan nada yang pelan ibu memberitahuku.
“Jadi maksud ibu?”.
“Iya Nak, Tamara telah meninggal akibat kecelakaan itu”, kata ibu sembari memelukku.
Aku terduduk di ranjang dan dipeluk ibu sambil menangis dengan keras dan
berkata “ kenapa dia terlalu cepat meninggalkan aku Bu?”. Aku terdiam
dan mengingat saat aku sakit, dia memberiku senyuman yang kuanggap indah
itu dan menjadi senyuman terakhir darinya. (SELESAI)
Rabu, 14 Mei 2014
Senyum Terakhir
05.15
No comments
0 komentar:
Posting Komentar